Selasa, 26 September 2017

Romeo Bukan untuk Juliet


walking away
Selamat tinggal, Juliet...


Cinta adalah sesuatu yang agung
Sesuatu yang indah hingga membuat takjub
Ia membahagiakan
Ia menggembirakan
Ia mencerahkan
Ia menyemarakkan
Ketika cinta mulai menyengsarakan
maka lepaskanlah
Lepaskanlah…

*

“Sayang, nanti kamu pakai baju yang cakepan dikit ya! Pasti di party-nya Nola yang hadir anak-anak kelas atas semua. Jadi, kamu harus menyesuaikan. Jangan nanti aku udah dandan cantik-cantik, eh kamunya malah gak ngimbangin, kan gak lucu…”

Masih terngiang kalimat Juliet, pacarku hampir satu tahun ini saat tadi siang meneleponku untuk ke sekian kali mengingatkan agar aku tidak terlewat menemaninya ke pesta ultah Nola temannya, sekaligus mewanti-wanti penampilanku. Ini bukan kali pertama Juliet bersikap demikian. Seingatku hampir tiap kali ada pesta temannya aku harus menghadapi setuasi seperti ini. Mungkin karena terlanjur cinta, aku tak pernah merasa salah dengan keiinginannya. Toh itu juga demi kebaikanku sendiri, aku ingin menjadi pacar membanggakan buatnya.

Aku berdiri di depan cermin, memandang pantulan diriku sendiri di sana, meneliti apakah masih ada cela yang bisa membuat Juliet uring-uringan seperti bila kukunya patah jika mendapati penampilanku tidak sesuai harapannya. Kurasa sudah cukup pantas, kemeja dan jeans yang sengaja kubeli untuk momen ini sudah membalut badanku dengan begitu pasnya, meski aku tak suka warna kemejaku. Marun adalah warna Juliet.

Aku menyambar kunci motor, berikut helmku. Tak berapa lama, aku sudah berbaur bersama kendaraan lainnya, membelah kepadatan jalanan ibukota. Aku menyalip sebisaku, membunyikan klakson berkali-kali dan merutuk pengendara yang balas menyalipku.

Juliet sudah berjanji pada Nola akan ikut membantu mempersiapkan pestanya, aku dan Juliet sudah harus sampai di sana sebelum petang turun. Aku salut dengan solidaritas pacarku kepada sahabatnya.

Aku mengumpat sendiri begitu motorku harus benar-benar berhenti. Sial, jalanan petang ini benar-benar menguji kesabaran. Antriannya meng-gerbong, tampaknya seluruh kendaraan yang ada di Jakarta sedang dikemudikan oleh semua pemiliknya, lalu lintas bagai merayap saja. Aku mulai mengeluh, cemas. Kulirik jamku, jelas sudah aku akan terlambat sampai di rumah Juliet.

Ponselku berdering. Panggilan masuk dari Juliet. “Iya, Sayang… aku hampir sampai nih.” Nyatanya, aku tidak akan sampai secepat kata ‘hampir’ yang kusuarakan untuknya.

“Buruan, aku gak mau telat. Udah ditungguin dari tadi juga gak sampai-sampai kamunya. Kebiasaan deh!”

“Kan aku udah bilang ada kuliah sore…”

Kudengar Juliet berdecak, dia sedang kesal. “Cepetan, ini udah sangat telat dari yang kujanjikan sama Nola!”

Klik

Sambungan terputus.

Aku menarik napas panjang. Sudah dapat kupastikan bagaimana reaksi Juliet nantinya ketika aku tiba. Pasti aku akan dicerca habis-habisan. Juliet tidak bisa menolerir sedikitpun kesalahan meskipun itu tidak niat kulakukan. Tak jarang, sedikit salah bisa menjadi fatal dalam pandangannya. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering muncul antara aku dan dia, tapi sejauh ini kami selalu bisa akur lagi dan mesra kembali. Aku sangat menyayanginya, dia cinta pertamaku.

Juliet tipe cewek perfeksionis yang menginginkan semua sempurna dalam penglihatannya. Dia ingin aku sempurna sebagai kekasihnya, demi untuk membuatnya bangga memilikiku aku akan selalu berusaha untuk jadi seperti yang dia ingini. Walaupun kadang tak sesuai dengan mauku. Namun demikianlah lumrah cinta. Cinta harus rela berkorban, begitu selalu aku berfikir bila Juliet mulai mendikte ini dan itu.

Seperti yang kusangka sebelumnya, aku benar-benar terlambat, sangat terlambat. Gelap sudah turun sempurna begitu aku mematikan mesin motor di halaman rumah Juliet. Pacarku, yang selalu cantik sudah menungguku di beranda rumahnya yang megah. Dia menatapku dengan tatapan tajam, wajahnya benar-benar keruh.

Aku melangkah menghampiri, berusaha untuk tidak memperdulikan raut marahnya itu. “Sudah siap, Princess? Ayo kita pergi…” ujarku lembut sambil memberinya seulas senyum. Berharap dapat melunturkan marahnya.

“Kamu tau kan, Nola itu temen dekatku?” Juliet tidak merepon ajakanku, dia berdiri kaku tak beranjak sedikitpun dengan tangan terlipat di dada.

“He eh. Aku tahu, Beib…” jawabku.

“Dan aku terlambat datang ke pestanya gara-gara punya pacar yang gak bisa diharapkan kayak kamu, Rayhan!!!” Juliet berteriak.

Aku menelan ludah mendengar ucapannya. Kali ini dia benar-benar mengamuk. Belum pernah aku melihat dia semarah ini padaku. “Jul, aku minta maaf. Aku udah berusaha pulang cepat dari kampus, tapi tadi jalanan benar-benar macet.” Aku masih berusaha lembut.

“Katakan alasan sialan itu pada orang bodoh lain, tidak padaku!” dia mengibaskan tangannya, “Aku selalu kecewa bila berharap sama kamu. Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi pacar terbaik.”

Rasanya bagai dipukul godam. Aku terhenyak mendengar perkataan Juliet. ‘Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi pacar terbaik…’ Jadi selama hampir satu tahun ini aku belum pernah menjadi yang terbaik buatnya? Segala yang dia mau selalu berusaha kuturuti. Apakah semua pengorbananku tak pernah terlihat olehnya selama ini?

Aku menahan amarahku yang siap tersulut karena kalimatnya tadi. Dengan ramah kembali kubujuk dia. “Daripada kita ribut-ribut gak jelas di sini, baiknya kita langsung ke tempat Nola, ini belum terlambat untuk ikut pesta. Dia pasti akan mengerti kenapa kita gak bisa ngebantu mempersiapkan harinya…”

“Aku gak punya muka lagi untuk datang ke sana, semua karena kamu!” Juliet membalikkan badan dan bergegas masuk ke dalam.

Aku berusaha menyambar pergelangannya, tapi ditepisnya dengan kasar. Pintu terbanting demikian kerasnya tepat di depan hidungku. Beberapa saat lamanya aku termangu di depan rumah Juliet. Mencerna apa yang baru saja terjadi. Walaupun sudah dapat menerka bahwa dia akan marah, tapi sama sekali aku tidak menyangka reaksi Juliet bakal separah ini. Yang membuatku hilang semangat adalah perkataannya yang mengatakan aku belum dapat menjadi pacar terbaik baginya, lalu apa arti cinta dan kasih tulus yang kucurahkan untuknya selama ini?

Aku berjalan gontai menuju motorku, menyalakan mesinnya lalu keluar dari pekarangan rumah Juliet. Perasaanku kacau, tak menentu, kalimat Juliet memenuhi indera dengarku sepanjang jalan pulang. Kuakui aku memang salah karena terlambat, walau menurutku tidak terlalu terlambat untuk hadir di pesta hari jadi seseorang, bahkan pestanya mungkin belum pun dimulai. Yang membuatku tampak begitu salah di mata Juliet adalah karena dia tak bisa datang lebih cepat untuk membantu sahabatnya itu. Meski aku salah, Juliet tak sepatutnya meluapkan kemarahannya seperti tadi kepadaku. Dia berhak marah, tapi seharusnya dia menerima ajakanku untuk segera pergi ke tempat temannya. Aku sudah berusaha lembut dan mengesampingkan kesalku karena ucapannya.

Ah, mungkin esok Juliet akan mesra kembali, seperti kebiasaan selama ini. Kami tak pernah benar-benar berperang. Aku menghibur diriku.

*

Tiba di rumah, aku menuju kamar. Kuhabiskan beberapa saat lamanya dengan berdiri termenung menatap langit malam dari balik jendelaku. Memoriku bersama Juliet berputar-putar di kepala. Aku jatuh cinta pertama kali padanya ketika sama-sama menjalani masa orientasi kampus. Pesona Juliet yang menyihirku masih terasa hingga saat ini, tak bisa kulupa. Cerita bersama Juliet bergulir semuanya di kepalaku. Saat aku menyatakan cinta padanya di bawah hujan di halaman kampus, saat aku dan dia kerap makan semangkuk bakso berdua di kafetaria, saat bercengkerama di kursi taman, saat kami berlarian di bawah gerimis seperti anak kecil. Semua saat-saat indah bersama Juliet menjajah pikiranku.

Lalu pertengkaran-pertengkaran kecil antara aku dan Juliet bertandang kemudian. Teringat olehku kemarahan-kemarahan Juliet yang seringnya disebabkan hal sepele atau kesalahan kecil yang tak niat kulakukan. Teringat bagaimana Juliet mencak-mencak ketika tahu aku bergabung dengan beberapa mahasiswa untuk menggalang sumbangan bagi korban banjir dengan berdiri di persimpangan-persimpangan, kemarahan Juliet ketika aku menjemputnya di salon dengan keadaan dekil karena baru siap baksos, kemarahan Juliet ketika aku tak bisa berbaur di acara-acara temannya, kemarahan Juliet ketika aku kerap tampil sederhana di sampingnya yang begitu wah, kemarahan Juliet karena aku terlambat dari waktu yang diharapkannya. Semua itu bagai diputar ulang dalam kepalaku.

*

Sudah lima hari sejak kejadian dimana Juliet marah besar padaku gara-gara terlambat menjemputnya ke pesta Nola. Selama itu pula dia tak pernah menghubungiku. Teleponku tak sekali pun dijawab, SMS-ku tak satu pun yang berbalas. Aku mencari-carinya di kampus setiap hari namun tak pernah bertemu, beberapa kali ke rumahnya tapi pembantu di sana selalu bilang kalau Juliet sudah keluar atau belum pulang atau baru saja dijemput temannya, tapi aku tahu itu semua adalah alasan Juliet untuk tidak menemuiku, dia menyuruh pembantunya mengatakan alasan-alasan itu padaku.

Lima hari tanpa melihatnya, lima hari tanpa mendengar suaranya. Cukup lima hari saja, rindu sudah menikamku sedemikian dahsyatnya.

*

“Marahan lagi, Ray?”

Akmal, teman kentalku di kampus bertanya ketika kami sedang makan di kantin. Aku tidak bersemangat sejak masuk kantin, tadinya ingin menolak saja ajakan Akmal tapi aku tak mau suasana hatiku yang sedang kacau berimbas pada sahabat baikku ini, aku tak harus mengacuhkan Akmal hanya karena sedang punya masalah dengan pacarku.

“Ray… kalian marahan lagi?” Akmal kembali mengulang pertanyaannya ketika menunggu lama aku tak merespon.

Aku mengangguk.

“Gara-garanya?” dia bertanya lagi di sela-sela kunyahan bakso dalam mulutnya.

“Telat jemput dia ke pesta ultah temennya…” jawabku tak bersemangat.

Akmal menelan kunyahannya, meneguk setengah isi gelasnya lalu melipat tangan di meja dan menatapku.

Aku mengernyit memandangnya yang tampak begitu serius saat ini.

“Rayhan, ini minta maaf ya jika kamu kesinggung, tapi sebagai temanmu aku merasa berkewajiban bicara seperti ini…”

“Gak usah berbelit, bicara saja…”

Akmal menarik napas, “Ray, satu kali dulu aku pernah bilang kalau Juliet bukan cewek yang tepat buatmu…”

Aku langsung memandang tajam pada Akmal, “Aku gak mau dengar omong kosong begini lagi!” cetusku sengit.

“Aku gak minta kamu untuk mendengar omong kosongku, tapi aku mau kamu untuk mikir pakai otakmu, nilai pakai hatimu sendiri.”

Aku mendengus.

Akmal tak peduli kekesalanku karena ucapannya, dia terus buka mulut. “Sekarang sudah saatnya kamu bangun, Ray. Buka matamu, lihat kenyataan bahwa selama ini kamu bukan dianggap sebagai pacar oleh Juliet, dia tak pernah memandangmu se-istimewa itu…”

“Kamu gak tahu apa-apa,” potongku masih sambil menatap tajam pada Akmal.

“Kamu gak pernah benar-benar jadi kekasih di matanya, Juliet memandangmu sebagai robot yang bisa diperintahnya, yang bisa dikendalikan dengan begitu mudah olehnya, yang remote-nya ada dalam tangannya. Selama ini kamu dianggap tak lebih sebagai benda yang bisa digerakkan kemanapun dia mau…”

“Aku gak mau dengar…!” kataku beringas.

Tapi Akmal tak peduli, dia terus menyambung kalimat demi kalimatnya yang menohokku. “Kamu harus begini, kamu gak boleh begitu, kamu harus kemari, kamu gak boleh kesana, kamu wajib seperti ini, kamu gak boleh seperti itu. Apa dia pernah menempatkan kepentinganmu sekali saja sebagai pertimbangan?” Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan menggeleng mantap, “Karena kamu robot, jadi dianggapnya tak punya perasaan dan kebutuhan.”

Aku diam.

“Bukan aku menjelek-jelekkan dia, Ray. Namun aku berusaha obyektif, karena sebagai sahabat aku gak ingin kamu tenggelam dalam cinta buta dan masa bodoh dengan kenyataan yang terpampang di depan mata.” Akmal meneguk habis isi gelasnya, ngomong panjang lebar ternyata membuat mulutnya kering. “Okey dia cantik, semua cowok yang matanya masih bagus tak akan berucap jelek untuknya. Tapi cantik paras saja tak cukup dijadikan standar kekasih buat cowok baik kayak kamu, Ray…”

Sadar atau tidak, Akmal baru saja memujiku.

“Kamu butuh gadis yang tidak hanya cantik rupa, tapi cantik sifat dan kelakuan, cantik hatinya…”

“Tapi aku tulus menyayangi dia, Mal… dengan sepenuh hatiku,” ujarku lirih.

“Itulah masalahmu, kawan… kamu tulus memberikan cinta dan sayangmu seratus persen buatnya hingga jadi buta mata dan buta hati. Apa kamu yakin Juliet juga membalas cinta dan sayangmu dengan kadar yang sama?” kembali Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan gelengan mantap. “Lihat pada pertengkaran-pertengkaran kalian, lihat kemarahan-kemarahannya yang beberapa tak cukup beralasan, lihat bagaimana Juliet mendikte hidupmu. Aku percaya, sedikit, dalam hatimu pasti kamu merasa tak nyaman hidupmu diatur-atur seperti itu, tapi kamu memilih mengabaikan ketidaknyamananmu dikarenakan cinta butamu padanya, Ray.”

Aku memandang Akmal lebih lekat, selama beteman dia tak pernah berbicara seserius ini, kalimat-kalimatnya adalah kesungguhan, aku benci mengakui bahwa ucapan-ucapannya adalah kebenaran tak terelakkan. Aku disaput bimbang.

“Sejelita dan sesempurna bagaimanapun rupa seorang cewek, tak ada artinya bila dia tidak mencintai apa adanya diri kita. Sebuah hubungan adalah bualan belaka bila mereka tidak mencintai kekurangan kita… begitu juga sebaliknya.”

Sepertinya Akmal sudah selesai, dia menarik lagi mangkuk baksonya lalu berseru memesan minum tambahan pada pelayan kantin.

Aku masih membisu, mangkuk di depanku masih utuh.

“Maaf jika aku terkesan kurang ajar barusan…” ternyata dia belum selesai. “Tapi aku harap kamu bisa memikirkannya lagi. Tanya dirimu, apa yang diinginkan hatimu saat ini dari sebuah hubungan, apa yang kamu mau. Apa kamu mau terus didikte Juliet dan mengabaikan terus-terusan rasa tak nyamanmu, atau melepaskannya dan hidup seperti apa-adanya dirimu…” Akmal mulai menyendok, sepertinya kali ini dia benar-benar telah mengkhatamkan ceramahnya.

Aku masih diam membisu, mencoba mencerna muntahan petuah Akmal yang berjejalan masuk sulkus otakku. Semakin aku mencerna dan mengurai petuah Akmal, semakin aku sadar bahwa Akmal tidak membual kosong. Selama ini aku memang selalu menuruti kehendak Juliet tanpa memperdulikan apa kemauanku sendiri. Apapun tentang diriku kuanggap tak penting lagi bila itu sudah menyangkut Juliet. Perihnya, setelah sekian banyak pengorbananku tetap di mata Juliet aku belumlah sempurna sebagai kekasihnya. Aku tidak bisa menjadi pacar terbaik, begitu katanya.

Kutatap Akmal yang sedang bertarung dengan isi mangkuknya, dia juga berstatus sebagai kekasih. Setahuku dia belum pernah punya satu pun kasus pertengkaran dengan Ifada, pacarnya. Apa bagi Ifada sosok Akmal sudah menjadi kekasih terbaik? Aku yakin jawabannya IYA. Akmal tak pernah mengutarakan satu saja keluhannya tentang Ifada padaku, selalunya dia akan menjawab dengan begitu mantapnya tiap kali aku bertanya bagaimana hubungannya dengan Ifada, ‘Aku masih jadi satu-satunya cowok terbaik di hatinya…’ demikian Akmal sering menjawab tiap kali aku bertanya dengan niat sekadar basa-basi setelah menumpahkan masalahku dan Juliet padanya, banyak kali sebelum ini.

“Mal…”

“Ya.” Akmal menyahut tanpa mengalihkan perhatiannya dari mangkuk bakso.

“Bagaimana hubunganmu sendiri dengan Ifada?”

“Kamu sudah tahu jawabannya…”

Aku tersenyum. Pencerahan datang kepadaku seketika itu. Lantas aku bangun dari kursi, kutepuk bahu Akmal. “Trims, buddy… sekalinya ini kamu ngomong panjang banget…”

Akmal tercenung, “Mau kemana? Ini baksomu masih utuh.”

“Ada sesuatu yang harus kulepaskan,” jawabku mantap, lalu mulai beranjak. Sempat kutatap senyum di wajah Akmal.

“TENANG SAJA, KAMU GAK AKAN JADI JOMBLO UNTUK WAKTU YANG LAMA! IFADA PUNYA CALON YANG TEPAT UNTUKMU…!!!”

Sialan, Akmal sukses mencuri perhatian seluruh pengunjung kantin dengan teriakannya. Aku kaku di pintu keluar, melotot besar pada karibku yang cengengesan tak tahu malu di mejanya. Bangsat, kini perhatian pengunjung kantin ganti tertuju padaku, dengan muka merah aku bergegas meninggalkan tatapan-tatapan aneh menyelidik itu.

*

Kini aku di sini, di depan pintu rumah Juliet. Meski si pembantu berkali-kali menegaskan kalau anak majikannya sedang tidak berada di rumah, aku tak peduli. Masih tetap ngotot berada di depan pintu. Aku tahu dan yakin Juliet ada di dalam sana.

“Sampaikan pada Juliet, saya gak akan pulang sebelum bicara! Saya akan nunggu di sini sampai dia keluar!” kataku agak kasar di muka pembantunya. Aku duduk di kursi teras sementara si pembantu langsung nyelonong masuk setelah kuteriakin.

Aku mulai panas sendiri, sudah setengah jam duduk hingga pantatku rasanya bagai tercucuk paku, tapi tidak satu orangpun yang membuka pintu lagi. Juliet benar-benar kukuh menguji kesabaranku. Kulirik jam, dan kuputuskan aku akan terus menunggu.

Hampir setengah jam lagi aku menunggu, pintu itu baru terbuka. Juliet menampakkan diri dengan raut dingin tak bersahabat.

“Kesalahan kamu kali ini sulit untuk dimaafkan, Ray.” Juliet buka suara, dia bersandar di bingkai pintu bersidekap tangan ke dada. Pandangannya sama seperti malam saat aku datang terlambat, pandangan kesal dan marah. Namun dia tidak menatapku langsung, dia menatap melewati pundakku.

Aku tersenyum simpul, “Kamu salah, Juliet… perkiraanmu jika aku kemari untuk minta maaf adalah tidak benar.” Aku menghela napas, “Kemarin-kemarin saat mencarimu mungkin benar bahwa aku datang untuk memelas mengemis maafmu, tapi sekarang tidak lagi…”

Kali ini Juliet fokus menatapku, bukan lagi ruang kosong di atas bahuku. “Apa maksudmu?”

“Aku lelah.”

Simpul itu sudah mulai kubuka, siap untuk kulepaskan diawali satu kata, LELAH. Aku sadar kalau hati dan jiwaku memang sudah merasa lelah.

Juliet tak merespon.

“Aku lelah selalu berusaha untuk jadi sempurna dalam pandanganmu yang tak pernah memandangku sempurna. Aku lelah selalu berusaha benar menurut penglihatanmu yang tak pernah benar-benar melihatku. Aku lelah selalu berusaha menuruti keinginanmu yang kadang tak sesuai dengan inginku sendiri. Aku lelah selalu menjadi bukan diriku yang sebenarnya ketika berada di sampingmu, dan semua itu tak pernah cukup berarti di matamu…”

Juliet kian tajam menatapku.

“Aku lelah menjadi bonekamu, Juliet…”

“Lalu apa maumu sekarang?”

Ya Tuhan, bahkan nada suaranya jauh dari kesan terkejut. Seakan kalimatku baru saja tidaklah penting baginya, seakan ucapku hanyalah angin lalu yang tak perlu dipikirkan, yang tak perlu diambil tahu.

“Aku sadar sekarang… untukmu aku tak mungkin bisa jadi sesempurna pangeran. Aku tak bisa menjadi selayaknya Rama buatmu yang indah seperti Sinta. Aku tak mungkin bisa jadi Romeo bagimu, Juliet… meski aku terus berusaha hingga kaki ke atas kepala ke bawah, aku tak bisa jadi Romeo seperti harapmu.” Aku menelan ludah, cukup berat bagiku untuk berucap seperti ini. Bagaimanapun aku pernah mencintai gadis di depanku ini demikian hebatnya. “Maaf aku tak bisa lagi, Juliet… kamu terlalu tinggi untuk kujangkau sementara aku berada di kerendahan mampuku, sangat jauh dari pengharapanmu. Aku sudah berusaha untuk jadi yang terbaik, tapi kamu lihat sendiri nyatanya aku sering gagal.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan kalimat yang sudah kupersiapkan sebagai alasan aku ke sini, “Juliet, aku ingin mengakhiri semuanya.”

Lepas sudah, aku sudah selesai. Berat, namun baik. Berat karena perasaanku masih cukup condong padanya, baik karena inilah yang seharusnya kulakukan untuk membebaskan diriku sendiri.

Juliet menatapku lekat, “Kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu ucapkan? Sekali kamu berani meninggalkanku, Rayhan… jangan harap aku akan menerimamu kembali,” ucapnya membekukan, sama sekali tak ada nada sesal atau sedih dalam suaranya, malah aku merasakan keangkuhan di sana. “Kamu mau kita putus?”

Aku memberinya satu kali anggukan. “Ya, semua berakhir hari ini di sini. Hampir setahun ini kita telah salah, bukan aku yang kamu ingin, sebaliknya bukan kamu pula yang tepat untukku. Salah satu dari kita terlambat menyadari itu hingga kita membuang-buang masa hampir satu tahun lamanya…”

“Ray…”

“Aku pergi…” aku membalikkan badan.

“Rayhan…”

Sial. Apa Juliet bermaksud menahanku agar tidak pergi? Apa dia akan meyakinkanku bahwa dia akan berubah? Kutolehkan kepalaku, memandangnya tanpa berbalik.

“Kamu benar, aku membuang-buang waktuku denganmu selama ini. Semoga berhasil dengan cintamu selanjutnya.”

Dan pintu Juliet sukses terbanting. Aku tak akan menghampiri pintu ini lagi. Kini aku yakin setelah mendengar kalimatnya baru saja, aku tidak pernah benar-benar jadi kekasih buatnya.

“Kamu juga, Juliet… semoga sukses dengan robotmu selanjutnya,” ujarku lirih lalu memulakan langkah.

Ah, rasanya aku bagai narapidana yang bebas kembali menghirup udara segar setelah sekian lama terkungkung di balik terali besi. Begitu yang kurasakan setelah melewati gerbang Juliet. Sebegini melegakankah bila kita melepas cinta yang menyengsarakan kita? Meski sedikit rasa masih bersisa, tapi ketika kita yakin bahwa keputusan kita adalah benar… itu sangat membuat lega.

Selamat tinggal cinta lama. Semoga cinta baru yang lebih baik dan bisa menerima apa adanya diriku akan kutemui di depan sana. Entah esok, entah lusa, entah hari-hari selanjutnya. Semoga saja…

Senin, 25 September 2017

Ranto dan Ranti


couple break up
Love like sunset


Ranti melihat pemuda itu berjalan ke arahnya, agak tergesa. Ransel di punggungnya tampak berat. Saat dekat, dia tersenyum pada Si Pemuda, Ranto. Sampai hari ini mereka masih berstatus pacaran.

“Maaf, aku telat lagi… ada lembar tugas yang harus kukumpulkan ke meja dosen.” Ranto melepas ranselnya, meletakkannya di atas meja lalu menghempaskan bokongnya di kursi, duduk tepat di depan Ranti. “Apa kau sudah menunggu lama?”

Ranti menggeleng, “Tidak selama kemarin, aku bahkan belum memesan apapun.”

Ranto melihat sekeliling, “Sepi ya…”

“Hemm… tak banyak yang punya kelas sore.”

“Mau pesan sekarang? Atau kita mengobrol dulu?” tanya Ranto sambil menggulung lengan kemejanya.

Ranti mengangkat bahu.

“Terserah aku? Baiklah…” Ranto mengangkat tangannya, melambai pada lelaki paruh baya yang berdiri di balik rak bakso di bagian dalam kantin.

Mang Ujang –pemilik kantin- berbicara pada gadis yang bekerja untuknya, si gadis segera menghampiri meja pelanggan mereka.

“Pesan apa, Mas?” tanya si gadis sembari siap-siap mencatat di notes kecilnya.

“Apa yang kau butuhkan, Ranti?”

Ranti menatap pemuda di depannya, kejadian di Taman Riyadhah kemarin sore masih membuatnya bingung. Di sana, mereka diam cukup lama, sama-sama duduk terpekur bersisian di kursi taman sebelum akhirnya pulang tepat jam setengah enam petang. Rencana yang sudah disusunnya tak terlaksana, dia belum mengucap putus pada Ranto.

“Ran…?” Ranto memanggil setelah tak mendapat respon gadis di depannya.

Ranti mendesah, “Pesankan apa saja, Ran…” ujarnya.

“Bakso?”

“Mi ayam saja.”

Ranto tersenyum, “Itu melenceng dari apa saja yang kau sebutkan sebelumnya, Honey…”

Ranti merasa ditampar, dia menunduk. Faktanya dia masih mendapat panggilan sayang itu. Keraguan semakin menyingkupinya, dia ragu kalau hari ini dirinya juga tak akan bisa mengucap putus. Ragu kalau cintanya masih sama besar seperti sejak pertama kali bertemu dulu, hanya saja dia tak tahu berada dimana cinta itu selama beberapa bulan terakhir ini hingga memutuskan ingin mengakhiri hubungannya dengan Ranto.

“Mi ayam dua,” ujar Ranto pada gadis pekerja di kantin Mang Ujang.

“Iya, mi ayam dua. Ada lagi?” tanya Si Gadis.

“Sirup dingin, boleh?” Ranto melirik Ranti.

“Aku sedang tidak boleh minum es.”

Lagi, Ranto tersenyum. “Kalimat pesankan apa saja-mu tadi berguguran sudah.”

Ranti menunduk, kegalauan pikiran membuatnya tidak konsen pada apa yang diucapkannya.

“Air mineral saja, Mbak. Bawakan beberapa gorengan juga ya!” Ranto menyudahi pesanannya.

Si Gadis mengangguk lalu kembali menuju rak dagangannya di dalam kantin dimana Mang Ujang bersiaga.

Ranto menatap pacarnya yang masih menunduk, memainkan ujung taplak meja dengan jari tangannya. Apakah pikirannya sedang kalut sepertiku? Ranto bertanya dalam hati. Apa dia juga berniat memutuskanku seperti niatku padanya? Ranto ingat kalau di taman kemarin Ranti bersikap aneh, padahal gadis itu yang punya hajat meminta bertemu di taman. Mengingat sikap diam Ranti kemarin, Ranto ragu kalau sebenarnya Ranti juga punya maksud yang sama dengannya. Apakah dia juga menjadi ragu kemarin? Ranto kembali membatin, apa Ranti merasa masih mencintaiku seperti aku merasa masih mencintainya ketika menatap matanya di taman kemarin?

“Apa kau akan diam saja, Ran?” Ranti membuka tanya. “Kau yang mengajak bertemu di kantin, kita di sini sekarang. Tidakkah ada sesuatu yang ingin kau beri tahu padaku?”

Ranto menarik napas, melipat lengannya di meja lalu membuang tatap pada rumpun bunga di sisi kanan kantin. “Kemarin kau juga mengajakku bertemu, begitu aku sampai di sana kau juga hanya diam,” ucap Ranto, masih memandang pada rumpun bunga.

“Aku bingung kemarin…” Ranti berucap lirih.

“Apa yang membuatmu bingung?”

“Hatiku…”

“Ada apa dengan hatimu?” kejar Ranto, dia semakin yakin kalau gadis di depannya punya niat yang sama, ingin memutuskan hubungan mereka.

Ranti menggeleng, “Aku bingung…”

“Apakah kau bingung sejak duduk di taman dan masih begitu hingga sekarang?”

Ranti menatap Ranto yang kini juga sedang menatap padanya, lalu dia mengangguk. “Hatiku membuatku bingung.”

“Ya Tuhan, Ran… kau bisa menularkan bingungmu itu jika terus saja berkata aku bingung, aku bingung…”

“Kau tidak?” Ranti menukas, “Karena aku menilai bahwa kau juga sama bingungnya denganku kemarin.”

Ranto bagai dibungkam paksa, dia susah menelan liurnya sendiri.

“Apa yang ingin kau bicarakan…?” Ranti melirik ke dalam kantin, selain dia dan Ranto yang memilih meja di luar kantin, di dalam sana hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang asyik dengan laptop mereka masing-masing. Sejak dia tiba tadi, keadaan kantin yang berada di dekat gedung fakultasnya ini memang sudah sepi.

“Ran… aku…” Ranto diam. Bagaimana aku mengatakannya?

Ranti mencondongkan badannya ke depan, “Ya?”

Ranto menatap wajah si gadis, “Apa kau masih mencintaiku?” dia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan terlebih dahulu pada Ranti.

Giliran Ranti yang merasa bagai didiamkan secara paksa. Dia kembali menarik badannya, punggungnya kembali bersandar di kursi.

“Pesanannya, Mas…” gadis yang tadi mencatat pesanan mereka datang dengan nampan penuh di tangan.

Ranti membantu Si Gadis menata mangkuk mereka di atas meja. “Trims, Mbak…” ujarnya pada Si Gadis yang direspon dengan senyuman sebelum kembali melenggang masuk ke dalam bersama nampannya.

Ranto mengambil botol air mineral di depannya, membuka tutupnya dan langsung menenggak hingga menghabiskan setengah dari isi botol. Lalu tanpa berkata-kata dia mulai memusatkan perhatian pada mangkuknya.

Hening, hanya denting sendok dan garpu di tangan Ranto yang terdengar. Dia hampir berhasil mengosongkan mangkuk mi ayamnya. “Apapun yang menjadi ganjalan pikiranmu sekarang, Honey… jangan biarkan dia merusak selera makanmu.” Ranto berhenti menyendok, ditatapnya sang pacar, “Lupakan pertanyaanku, okey… kita akan bicara begitu mangkuk kita kosong.”

“Apa kau sendiri masih mencintaiku, Ran?” Ranti berbisik, cukup jelas untuk di dengar pria di depannya. Tangannya terus mengaduk-ngaduk di dalam mangkuk, membuat daging ayam di dalamnya timbul tenggelam di antara belitan mi.

Ranto berhenti mengunyah, “Kemarin sore… apakah kau berencana untuk memutuskan hubungan kita, Ranti?”

Mereka bertatapan, asap dari mangkuk keduanya meliuk-liuk dalam jarak pandang mereka.

“Jujur, aku ingin mengutarakan itu padamu kemarin sore di taman. Sepanjang perjalanan menujumu, aku terus meyakinkan diriku bahwa aku memang benar-benar ingin mengakhiri hubunganku denganmu…”

Meski sudah mengira, Ranti tetap kaget. “Kenapa?” potongnya.

“Entahlah, aku merasa hubungan kita hambar, datar dan tak lagi bergejolak seperti dulu.” Ranto melepaskan sendok dan garpunya, dia kembali menatap rumpun bunga. “Tapi ketika tiba di kursimu, aku malah ragu dengan keputusanku sendiri…”

Ranti terpekur pada sisi wajah Ranto, menatap tak berkedip pria yang sudah berstatus sebagai pacarnya hampir setahun ini. Benar sudah, Ranto juga berniat memutuskannya kemarin.

“Bagaimana denganmu, Ran… apakah salah aku menduga bahwa kemarin kau juga berniat sama sepertiku?” Ranto sudah kembali menoleh memandang gadis pacarnya ini.

Ranti mengangguk lemah, satu kali, lalu menunduk dalam. “Maaf…” ucapnya lirih.

Ranto menghembuskan napas perlahan, “Tidakkah aku juga berhak meminta maaf darimu, Ran? Aku juga berniat memutuskanmu kemarin…”

“Aku yang mengajakmu bertemu…”

“Tahukah, sebelum kau meneleponku mengajak jumpa di Taman Riyadhah, aku juga sudah berniat meneleponmu untuk meminta bertemu. Kau mendahuluiku…”

Ranti diam.

“Apa alasanmu, Ran? Apakah ada pria tak kuketahui yang sedang memikat hatimu?”

Ranti mengangkat wajah lalu menggeleng keras-keras, “Tak ada pria lain…”

Ranto tersenyum simpul, “Lantas…?”

“Aku merasa tak punya cinta lagi untukmu, aku merasa… entahlah, seperti kehilangan loncatan listrik di hatiku. Aku tak lagi merasakan begitu akhir-akhir ini…”

“Jadi, dalam kalimat lain adalah… aku bukan pria lagi yang tepat untuk menerima cintamu?”

“Ran, aku…”

It’s ok, Ranti…”

“Tidak, bukan begitu…” Ranti menelan ludah. “Aku tahu kau adalah pria baik, kau tak pernah berbuat kesalahan selama menjadi kekasihku, kau tak pernah marah-marah, tak pernah memaki-maki, tak pernah bersikap menyebalkan, tak pernah tidak menepati janji, selalu tepat waktu…”

“Kemarin aku terlambat…” tukas Ranto.

“Hanya satu kali saja, itu tak masuk hitungan.”

“Tapi itu tetap terlambat namanya…”

Ranti menggeleng.

“Mendengar dari tuturanmu, sepertinya aku termasuk kekasih terbaik yang pernah ada, lalu mengapa kau malah kehilangan loncatan listrik di dadamu?” Ranto menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, memeragakan denyut jantung. “Seharusnya, dengan segala ke-tidak-pernah-an itu, loncatan di hatimu bukannya makin kuat dan menjadi-jadi, ya?” sekarang dia semakin kencang menggerakkan tangannya di depan dada, “Seperti ini…”

Mau tak mau, Ranti tersenyum kikuk. “Jangan konyol, Ran…”

“Aku hanya mencoba memperlihatkan ujud nyatanya saja…” Ranto berhenti menggerakkan tangannya.

“Bagaimana denganmu? Kau bilang merasa hambar, apa kau sudah menemukan gadis yang punya sejuta rasa yang tidak kumiliki?”

Ranto tertawa, “Tidak, aku tidak sedang berusaha menjerat gadis lain. Aku juga sedang tidak terjerat pesona gadis seperti yang kau gambarkan, punya sejuta rasa…” Ranto tertawa tertahan, kemudian menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Adakah nama-nama rasa hingga mencacah hitungan satu juta?”

“Jangan konyol!” ulang Ranti.

“Tidak, aku hanya menganalisis kalimatmu saja…”

Ranti mendecak, “Jadi kenapa, Ran… apa yang membuatmu merasa hambar padaku?”

Ranto menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “Kau gadis baik, Ranti. Kau adalah cinta pertamaku…”

“Begitu juga kau, Ran…” tukas Ranti.

“Ya, kita sama-sama tahu itu.” Ranto diam sesaat sebelum melanjutkan. “Mungkin aneh, bagaimana aku bisa kehilangan rasa cintaku terhadapmu yang selama ini sudah memerankan peranmu sebagai seorang kekasih dengan sangat baik, tapi itulah kenyataannya… aku merasa hubungan kita tidak sehangat masa awal-awal pacaran.” Ranto diam lagi, “Mungkin keadaan kita sama, Ran… kita sama-sama kehilangan rasa cinta satu sama lainnya.”

Hening kembali, tak ada suara denting sendok dan garpu kali ini. Mangkuk mereka sudah tak tersentuh.


“Apa ini yang namanya fase jenuh dalam sebuah relationship, Ran?”

Ranto diam.

“Bagaimana menurutmu…? Apa perasaan kita ini bisa dikatakan dengan jenuh? Kita bosan dengan pasangan, jemu hingga mengikis rasa cinta yang pernah menjadi modal ketertarikan kita pada sosok pasangan…”

“Aku tak tahu, Ran…” ucap Ranto. “Jika jenuh, seharusnya kita saling menghindar. Tapi kita tidak begitu kan? Selama ini kita masih sering ketemu di kampus, masih sering saling mengirim pesan singkat, aku masih sering meneleponmu, kau juga tak pernah mengabaikan teleponku…”

“Mungkin selama ini kita membohongi diri sendiri…”

Ranto melongo.

“Kita berusaha tetap terlihat seantusias dulu padahal kita tidak dengan senang hati melakoninya…”

“Kau begitu?”

Ranti tidak menjawab.

“Hemm… mungkin kita memang begitu.” Ranto menjawab sendiri pertanyaannya.

“Kemarin, sebelum kau datang… aku berbicara dengan seorang gadis, dia sedang menunggu pacarnya. Dia bercerita kalau diputuskan itu rasanya sakit bila kita masih teramat mencintai sang kekasih, dia pernah mengalami itu, pacar pertamanya memutuskan hubungan mereka di saat dia masih begitu mencintai pria itu. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah kau juga akan merasa sakit ketika kuputuskan nantinya…”

“Hemm…” Ranto menggumam, membiarkan Ranti menyelesaikan ceritanya.

“Aku juga minta pendapat gadis itu. Katanya, andai pun kau terluka, kemungkinan kau akan mudah dan cepat sembuh kembali karena katanya pria lebih kuat dari wanita…” Ranti tersenyum sendiri, “Namun nyatanya, kau juga punya niat untuk memutuskanku…”

Ranto menyeringai, “Azhar malah bilang aku bodoh bila mengakhiri hubunganku denganmu.”

Ranti tertawa, “Kau dapat nasihat apa darinya?”

“Kau ingin tahu?”

Ranti mengangguk, “Katanya, andaipun hubungan kita berakhir, dia berpesan agar aku bisa membuatmu yakin bahwa hubungan kita akan sama baiknya ketika sudah tak lagi berstatus pacaran. Katanya, aku harus bilang padamu bahwa kita akan baik-baik saja dengan jadi sahabat dan kau boleh memintaku untuk mendampingimu kapanpun kau perlu didampingi…”

“Baiknya dia…”

“Yep, gara-gara dia juga aku terlambat menemuimu kemarin, Azhar bicara terlalu banyak.”

Ranti mengangguk-angguk, “Katakanlah kau jadi memutuskanku, andai Azhar tidak berpesan demikian padamu apakah kau sendiri punya pemikiran semacam itu?”

Ranto langsung mengangguk mantap.

“Memang…” ucap Ranti, “Kebanyakan mereka yang break up pasti akan bilang ‘kita akan jadi sahabat yang baik setelah ini, tenang saja,’ padahal begitu putus, waktu mereka akan tersita oleh pacar-pacar baru mereka. Tak ada waktu tersisa untuk menjalin persahabatan dengan mantan pacar… waktu terlalu sempit untuk sekedar bertanya-tanya apakah sang mantan sudah makan siang hari ini? apakah sang mantan sehat-sehat saja? Atau hanya sekedar pesan ‘hai’ saja…” Ranti mengambil jeda sesaat lalu melanjutkan, “Segera, segala sesuatu terkait dengan mantan pacar tak ada yang penting lagi begitu kata putus terucap…”

Ranto menggeleng, “Aku tak akan seperti itu.”

“Trims…”

“Kita belum putus, Ran…”

“Memang… kita sedang membahasnya sekarang…”

Beberapa mahasiswa masuk ke kantin sambil berbicara riuh, mereka langsung disambut Mang Ujang dan karyawannya. Ranto mengikuti kelompok mahasiswa itu hingga ke meja mereka dengan ekor matanya, kantin jadi sedikit berisik dengan kemunculan mereka.

“Dalam pandanganmu, siapa di antara mereka yang paling menarik perhatian?” Ranto iseng bertanya.

“Tidak penting…” Ranti bahkan tak melirik meja tempat beberapa mahasiswa itu berkelakar di dalam kantin sana.

“Ran, serius… cobalah, mana di antara mereka yang potensial punya kesempatan lebih besar untuk dipilih seorang gadis?”

Ogah-ogahan, Ranti melirik mereka. “Tak ada…”

Ranto langsung tertawa, “Padahal yang pake kemeja garis-garis vertikal menurutku punya tampang di atasku.”

Ranti melirik sekali lagi, memperhatikan mahasiswa yang disebutkan Ranto, lalu melengos. “Aku belum rabun, Ran… kau jauh lebih menarik.”

“Artinya, aku masih menarik kan di matamu?” todong Ranto.

“Seingatku, dari tadi aku tidak sekalipun menyebutmu sudah tak menarik lagi.”

Ranto mengangguk-angguk. “Ya ya ya… kau hanya kehilangan loncatan listrikmu… bukan begitu, Honey?”

Ranti tak merespon.

“Keberatan jika aku menghabiskan mi ayamku?”

“Silakan…”

“Kau tak ingin mengikuti jejakku?”

Ranti kembali mengaduk-aduk isi mangkuknya, daging ayam kembali timbul tenggelam dalam lilitan mi. Mangkuk itu sudah tidak berasap seperti beberapa saat lalu.

“Makanlah, Ran… kasihan Mang Ujang bila nanti berfikir mi ayamnya tak lagi enak karena kau menyisakan mangkuk utuh, bisa-bisa dia gulung lapak dan berhenti jualan di kampus kita.”

Ranti tersenyum, pria di depannya masih mempertahankan sifat konyol yang pernah membuatnya klepek-klepek suatu masa dulu. Dia mulai menyendok dengan enggan. Beberapa menit selanjutnya, waktu berlalu dalam kediaman.

“Aku selesai…” Ranto mendorong mangkuknya lebih ke tengah meja. “Hemm… sepertinya Mang Ujang benar-benar akan pindah tugas,” lanjutnya begitu mendapati kalau mangkuk Ranti masih penuh. “Apa aku harus menyuapimu, seperti saat di panti asuhan dulu?”

Ranti tertawa, sekilas momen suap-suapannya bersama Ranto ketika kegiatan Baksos di panti asuhan dulu melintas di kepalanya. Saat itu mereka belum resmi pacaran. “Apa kabarnya ya anak-anak di sana…” Ranti menerawang.

“Yang pasti, mereka masih harus ngantri kalau mau makan dan mandi,” jawab Ranto.

“Jawaban jelek.”

“Itu realita.”

Ranti mengangguk sekilas, “Menurutmu, apa hubungan kita yang berawal dari sana adalah realita juga seperti halnya kebiasaan anak-anak panti itu?”

“Menurutmu?”

“Jangan kembalikan pertanyaanku, Ran…”

Ranto menaikkan sebelah alisnya, “Tentu saja, Ran… hubungan kita nyata kan? Yah, bukankah dulu kita benar-benar jatuh cinta? Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, aku tertarik padamu kau juga sama tertariknya denganku, kita lewati hari sebagaimana laiknya orang yang sedang jatuh cinta, itu real kan? Iya sih, sekarang kita sedang mengalami krisis perasaan, tapi bukankah ini termasuk realita juga? Realita dalam sebuah hubungan perkasihan, pasang surut…”

Ranti seperti mendapat pencerahan, pasang surut. Ya, itu dia. Ditatapnya Ranto, lalu berucap, “Pasang surut, tidakkah kau menganggap kalau kita sedang mengalami fase seperti itu? Saat ini kita sedang surut, setelah mengalami pasang di masa awal-awal dulu…”

Ranto mengerjapkan matanya beberapa kali, “Perhaps…” jawabnya singkat.

“Jangan membuatku bimbang, Ran…”

“Ya, baiklah… aku setuju. Hubungan kita sedang memasuki fase surut.”

“Jadi..”

“Jadi?” Ranto menaikkan alisnya lagi.

“Jadi bagaimana menurutmu?”

Ranto bengong. “Mungkin kita bisa membeli kail, cari cacing lalu pergi memancing. Katanya, saat air surut itu banyak ikannya…”

“Kau konyol lagi…”
Ranto tertawa, “Baiklah, daripada mendengar kekonyolanku lagi dan lagi dan lagi, bukankah lebih baik kau yang mengutarakan persepsimu? Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”

“Yang jelas bukan pergi memancing.”

“Tentu, lantas…?” Ranto mencondongkan badannya.

Ranti tak menjawab, hatinya mencari-cari lagi. Mencoba mengingat bagaimana persisnya perasaan yang sempat menghantamnya kemarin sore di Taman Riyadhah ketika gelisah menunggu kedatangan Ranto. Dia mencoba menjabarkan perasaannya ketika mendongak dan mendapati Ranto tegak menjulang di hadapannya dibalut jaket pemberiannya. Bagaimana persisnya perasaanya saat itu? Bukankah dia sempat berkata dalam hati bahwa dia masih mencintai pria ini?

“Ran…” Ranto memanggil lirih, badannya masih condong ke arah sang pacar. “Bagaimana?”

Ranti membuka tutup botol minumnya, mendadak dia merasa mulutnya kering.

“Yah, kau tampaknya memang perlu minum, Honey…” ujar Ranto lalu kembali menarik diri ke sandaran kursinya. Menunggu Ranti selesai dengan botol air mineralnya, dia meraih piring berisi gorengan dan mulai mengunyah. “Agaknya rasa gorengan Mang Ujang beda hari ini…” Ranto mengecap-ngecap.

“Ada apa dengan rasanya?” tanya Ranti.

Ranto masih terus mengecap-ngecap, “Agak hambar… tidak ada loncatan-loncatan rasa seperti biasanya di lidahku…”

Ranti langsung memberengut, “Kau menyindir hubungan kita?”

“Tidak, cobalah…”

Ranto menyodorkan piring gorengan pada Ranti, Si Gadis menyambut dan langsung mencomot satu gorengan dari dalamnya.

Ranti mengikuti tingkah Ranto, mengunyah perlahan-lahan sepotong gorengan dalam mulutnya. Keningnya mengernyit, “Rasanya masih sama seperti hari kemarin-kemarin kok…”

“Tidak hambar?”

Ranti menggeleng.

“Ada loncatan-loncatan rasa di lidah?”

Bingung, Ranti mengangguk.

“Berarti masalahnya ada di lidahku.”

“Kau membuatku bego…” tukas Ranti lalu meletakkan piring gorengan kembali ke atas meja.

“Tidak tidak… rasanya memang beda di lidahku…”

“Rasanya masih sama.”

“Sama seperti dulu?”

Ranti mengangguk.

Ranto mengangkat bahu lalu meraih piring gorengan kembali, “Carilah kalimat tepat yang ingin kau sampaikan, Ranti… sembari menunggumu bersuara, aku akan mencoba menemukan kembali rasa gorengan yang sama seperti yang pernah dikecap lidahku sebelum ini…”

Lalu Ranto mulai mengunyah lagi, sementara Ranti menatap pacarnya dalam bingung. Apa maksud kalimat Ranto barusan? Apakah dia menganalogikan perasaannya sebagai rasa gorengan? Dia ingin menemukan rasa gorengan yang sama seperti yang pernah dikecapnya sebelum ini, apakah itu Ranto memaksudkan kalimatnya itu bahwa dia ingin membangkitkan kembali perasaan cinta yang sama kepadanya seperti yang pernah dimilikinya dulu? Ranti membatin, jika iya… artinya Ranto tidak jadi memutuskannya? Namun bagaimana dengan dirinya sendiri? apakah dia ingin memutuskan Ranto? Pasang surut, Ranti kembali mengingat istilah itu. Tadi dia dan Ranto sempat setuju kalau hubungan mereka sedang memasuki fase surut, artinya, pasang akan kembali terjadi.

Ranti berdehem, “Ran…” panggilnya.

“Ya?!” Ranto berhenti mengunyah dan menatap mata Ranti.

“Berikan aku jawaban…”

“Untuk pertanyaan yang mana?”

“Apakah kau masih mencintaiku?”

Ranto meletakkan piring, menelan sisa gorengan dalam mulutnya lalu menghembuskan napas perlahan. “Ternyata rasa gorengannya memang masih sama, ya!” katanya. “Seingatku, bukankah tadinya aku yang lebih dulu mengajukan tanya seperti itu?”

“Anggap saja di sini berlaku ungkapan ladies first… anggap aku yang bertanya lebih dulu.”

“Hemm… beruntungnya menjadi seorang gadis.”

“Trims…”

Ranto tersenyum lalu menunjuk pada lengan kiri Ranti, “Aku suka kau masih memakai gelang itu…” ujarnya.

Ranti menunduk memandang gelang di pergelangan tangan kirinya, disentuhnya bandul hati yang menggantung pada salah satu ring gelang putih itu. “Yang terindah yang pernah kumiliki…” ucapnya lalu kembali menatap Ranto. “Kau belum menjawabku.”

Sudut bibir Ranto tertarik, “Apa aku masih mencintaimu?” Ranto bermonolog, “Jika aku menjawab tidak, apa yang akan kau katakan? dan bila aku menjawab, aku masih mencintaimu, apa pula reaksimu?”

“Ran, jangan membuatku tak bisa memantapkan hatiku. Tolong, jawablah.”

“Ya, Ranti…” Ranto mencondongkan badannya lagi, kali ini lebih dekat dari beberapa kesempatan tadi. “Aku-masih-mencintaimu.” Ranto mengucapkan kalimatnya dengan penggalan yang amat sangat jelas dan dengan intonasi yang amat meyakinkan, lalu dia menyambung ucapannya, “Hubungan kita akan segera pasang kembali… andai kau juga menjawab ya untuk pertanyaan yang sama dariku…”

Ranti berbinar ketika Ranto menggenggam jemarinya, dia kehilangan kata-kata. Perasaannya sama ketika gelisah menunggu Ranto di Taman Riyadhah kemarin sore, sama seperti ketika dia mendongak dan menemukan sosok Ranto dengan jaket pemberiannya di depannya, perasaannya sama persis seperti kata hatinya kemarin, aku masih mencintai pria ini…

“Apa kau lupa pertanyaanku, Ran?” Ranto berbisik.

Ranti berkabut sudah.

“Ya Tuhan, Ran… Please, don’t cry…”

“Maafkan aku…”

“Shhh… kau tak salah…”

Ranti menggeleng, “Aku salah pernah punya niat untuk memutuskanmu, padahal kau adalah kekasih terbaik yang pernah ada. Pertama, terbaik dan satu-satunya…” Ranti bocor, matanya basah.

Ranto menggerakkan ibu jarinya di wajah Ranti, menghapus tiap basah yang mengalir di sana. “Maka aku juga salah telah punya niat yang sama, Ran… aku juga sama bersalahnya, mungkin lebih salah lagi…” Ranto membelai puncak kepala gadisnya, “Please, jangan nangis lagi…”

“Hemm… Aku mencintaimu, Ran… aku masih mencintaimu… padahal hatiku sudah lebih awal menyadarinya kemarin sore saat kau berdiri di depanku…”

Yeah, I know…” Ranto menyatukan jemarinya bersama jemari Ranti lalu mengecupnya lama. “Thanks God…” lalu dia menyentuh dagu gadis di depannya. “Tertawalah Ran, kita akan memasuki fase pasang lagi…”

Ranti tertawa dalam tangis, “Maukah kau menyuapi mi ayam ini? aku tak mau Mang Ujang pindah…”

Ranto terbahak, mengecup jemari Ranti sekali lagi lalu mengambil alih mangkuk di depan Si Gadis.

“Beritahu aku jika kau punya niat untuk memutuskanku lagi, agar aku bisa cepat mengantisipasinya. Kenapa? Karena aku pasti akan kehilangan semua rasa makanan di lidahku bila kau mengucap putus…”

Ranto menggeleng, “Aku malah berniat mengenalkanmu pada ayah bundaku…”

Ranti tersenyum cerah. Hari ini, mereka kembali saling menyuapi.